Kamis, 02 Agustus 2018

RUMAH, SEKOLAH ISTIMEWA ANAK

Silsilah Fiqih Pendidikan Anak - No: 18


Seringkali kita menjumpai sebagian orang tua yang manakala anaknya nakal, mereka langsung melontarkan tuduhan miring kepada pihak sekolahan. Menyalahkan para guru dan mencap mereka sebagai biang kerok kenakalan anaknya. Atau beralasan, “Anak saya nakal karena terpengaruh lingkungan pergaulan teman-temannya”.
Yang jadi pertanyaan, mengapa anak tersebut lebih terpengaruh teman daripada terpengaruh orang tuanya?

Bukankah jasa besar orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya, seharusnya membuat anak lebih terpengaruh orang tua? Terlebih, sejatinya anak-anak menghabiskan waktu sejak 0-18 tahun pertamanya lebih banyak dengan orang-orang terdekatnya dalam keluarga, bukan dengan orang lain. Lalu, mengapa mereka yang baru mengenal orang lain (teman-teman sepergaulan), kok jadi lebih banyak dipengaruhi orang lain ini daripada orang-orang dekat yang ada di keluarganya?

Hal ini tentu menuntut kita untuk lebih berintrospeksi diri, sudahkah rumah menjadi media pendidikan yang baik untuk anak-anak kita?

Rumah memiliki peran yang sangat sentral dalam pendidikan anak. Bisa dikatakan bahwa segala sesuatu bermula dari rumah. Bila pendidikan dalam rumah tidak berjalan atau lemah, maka si anak akan jatuh dalam ‘pendidikan-pendidikan’ di luar rumah yang tidak jelas arahnya. Sehingga lahirlah anak-anak berstatus broken home.

Ayah dan ibunya tidak mengacuhkannya di rumah, karena kesibukan masing-masing. Si ayah bekerja di kantor, sedangkan si ibu juga sibuk berkarir di luar rumah. Akibatnya pendidikan anak di rumah pun terbengkalai. Sehingga anak mencari pelampiasan kasih sayang di luar rumah. ‘Serigala-serigala’ buas pun sudah siap untuk memangsa sang buah hati.

Kata kuncinya, jangan membuat anak tak betah di rumah. Berikan perhatian dan kasih sayang yang cukup terhadap mereka. Jangan sampai merasa dicuekin oleh orang tuanya.
Intinya, orang tua harus menyiapkan pendidikan yang benar dari dalam rumah, sebelum melepas anaknya ke luar. Maka dalam hal ini, suasana rumah yang islami amat membantu keberhasilan orang tua dalam mendidik putra-putrinya.
Rumah yang islami merupakan wadah pendidikan yang memiliki banyak keistimewaan, di antaranya:

1.Di dalamnya anggoa keluarga bekumpul bersama dalam jangka waktu yang lebih lama. Sehingga terjalin kedekatan pribadi antara anak dengan orang tua dan saudara-saudaranya.

2.Anak dapat melihat teladan dan panutan dalam ucapan maupun perbuatan. Sehingga membantu mereka untuk menirunya.

3.Penyampaian nasehat atau pemberian hukuman di dalam rumah, bukan di hadapan orang banyak, akan lebih besar pengaruh positifnya bagi jiwa anak.

4.Pengawasan yang kontinyu terhadap anggota keluarga dan saling mengawasi di antara sesama. Hal ini akan membangkitkan keberanian untuk menumbuhkan budaya saling menasehati.

5.Memanfaatkan berbagai media islami untuk membantu pendidikan anak.
Tulisan ini bukan sama sekali untuk mengatakan tidak perlunya anak masuk ke sekolahan di luar. Namun tulisan ini hanya untuk menggugah kesadaran kita bersama bahwa rumah adalah sekolah pertama anak yang amat menentukan keberhasilan pendidikan mereka selanjutnya. Semoga bisa menginspirasi!

[ Disadur oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari buku “Mencetak Generasi Rabbani” karya Ummu Ihsan Choiriyyah dan Abu Ihsan al-Atsary (hal. 61-62) dengan berbagai tambahan. ]

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 22 Muharram 1435 / 25 November 2013

==========
Telegram: https://t.me/ustadzabdullahzaen
Web: https://tunasilmu.com
FB: https://fb.me/UstadzAbdullahZaen/

ADAB MEMBACA AL-QUR’AN – Bagian 1

Silsilah Fiqih Doa dan Dzikir No: 14


Al-Qur'an bukanlah sembarang buku, namun ia adalah kitab yang teramat istimewa dan paling mulia. Sehingga dalam membacanya pun ada etika dan adabnya. Antara lain:

1. Wajib ikhlas manakala membacanya
Sebab membaca al-Qur'an adalah ibadah. Dan Allah ta’ala memerintahkan agar setiap ibadah dilakukan dengan ikhlas.

Baca: QS. Al-Bayyinah (98): 5.

Namun, amat disayangkan realita berkata lain. Tidak sedikit orang yang membaca al-Qur’an karena motivasi duniawi. Entah agar dipuji, mendapat uang, meraih simpati atau kepentingan duniawi lainnya. Mereka terancam dengan api neraka. Semoga Allah menghindarkan kita semua dari perilaku jelek tersebut. Amien.

2. Berwudhu
Seyogyanya seseorang bila akan menyentuh mushaf al-Qur’an, ia berusaha dalam keadaan suci.[ Mayoritas ulama dari kalangan empat madzhab berpendapat tidak bolehnya seorang insan memegang mushaf melainkan dalam keadaan suci.

Lihat: at-Tarjîh fî Masâ’il ath-Thahârah wa ash-Shalât karya Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul (hal. 83-84).] Dalilnya adalah QS. Al-Waqi’ah (56): 79, juga hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

"أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ".

“Hendaknya tidak menyentuh al-Qur’an kecuali orang (yang dalam keadaan) suci”. HR. Malik dan dinyatakan sahih oleh Ishaq bin Rahawaih dan al-Albany.

Adapun jika seorang insan membaca al-Qur’an tanpa memegang mushaf, atau dengan kata lain membaca dari hapalan yang ada di kepalanya, maka tidak mengapa insyaAllah jika ia tidak dalam keadaan suci. Dalilnya adalah sebuah hadits yang dituturkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma manakala beliau menginap di rumah Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Kata beliau,

“Di tengah malam Rasulullah shallallallahu’alaihiwasallam bangun, kemudian beliau duduk mengusap dengan tangannya sisa-sisa tidur dari wajahnya. Lalu membaca sepuluh ayat terakhir surat Ali Imran. Baru kemudian beliau berdiri menuju kantung air wudhu yang tergantung dan berwudhu darinya seraya menyempurnakan wudhunya”. HR. Bukhari dan Muslim.

Kecuali dalam satu kondisi, yakni manakala seorang hamba dalam keadaan junub. Saat itu ia tidak boleh membaca al-Qur’an baik tanpa memegang mushaf, apalagi jika memegangnya. Dalilnya adalah hadits berikut:

"كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ حَالٍ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا".

”Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam membacakan pada kami al-Qur’an dalam segala kondisi, kecuali jika beliau junub”. HR. Tirmidzy dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan dinilai hasan sahih oleh Tirmidzy.

Adapun wanita yang haidh atau nifas, maka diperbolehkan insyaAllah untuk membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, menurut pendapat yang cukup kuat dari sebagian ulama. Sebab tidak diketahui adanya dalil yang jelas yang melarang hal tersebut.[ Baca: Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâ’imah (IV/109).]

[Disarikan oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari buku “Kumpulan Kultum Setahun” karya Fu'ad bin Abdul Aziz asy-Syalhub (II/312-317) dengan beberapa tambahan. ]

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 23 J. Tsani 1433 / 14 Mei 2012

==========
Telegram: https://t.me/ustadzabdullahzaen
Web: https://tunasilmu.com
FB: https://fb.me/UstadzAbdullahZaen/

Rabu, 01 Agustus 2018

Bagimu Ini Berkah, Bagi Kami Ini Musibah



Untuk judul-judul kajian yang @l@y atau persis seperti judul lagu, lirik lagu atau judul film, itu sejatinya adalah penurunan dan perendahan terhadap ilmu. Itu merupakan bentuk tasyabbuh dengan orang-orang fasiq atau orang-orang kafir. Mohon pemateri/ustadz selektif ketika disodorkan judul materi dari panitia atau EO. Dan syukurnya, EO semodel ini adanya di Jakarta. Bukan sekali atau dua kali melainkan berkali-kali begini.

Alasannya selalu caper untuk orang awam supaya tertarik ikut kajian. Demi melegalisir capernya, maka rela bertasyabbuh pada kefasikan. Seolah-olah, ilmu tidak punya izzah dan kewibawaan dari segi pemilihan judul. Ini justru mengurangi keberkahan, sekalipun nyatanyata hadirin banyak. Kalau menargetkan jumlah, itu bukan dakwah sesungguhnya. Itu dakwah tromol saja. Atau dakwah popularitas. Jelas?

Kalam semacam ini, substansinya, apakah sudah sampai ke EO-EO tersebut? Sudah. Sudah disampaikan keresahan ini oleh para ustadz kibar? Sudah. Sudah ditahdzir oleh ulama? Sudah.

Kenapa masih saja?

Karena itulah akibatnya kalau dai sedia diatur oleh EO dan panitia. Maka, selamat bertasyabbuh dengan simbol kefasikan. Masukkan judul lagu, potongan liriknya dan film ke masjid. Dan kita tanya ke EO nya:

"Afwan, ikhwah, apakah antum memang benar sudah berhijrah?"

Khuthuwat asy-Syaithan.